Senin, 02 April 2012




 Kata fiqh yang berasal dari bahasa arab mempunyai makna etimologi al-fahm (memahami). Sedangkan arti terminologinya adalah mengetahuai sesuatu yang menjadi hak maupun kewajiban seseorang, atau mengetahui hukum-hukum partikular (juz’i) berdasar dalil-dalilnya. Definisi seperti ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah yang cenderung memaknai fiqh secara umum dan mencakup hukum-hukum i’tiqadiyyat (keimanan), wijdaniyyat (akhlaq-tashawuf), dan ’amaliyyat (hukum praktis keseharian). Mengingat cakupannya yang begitu menyeluruh seperti ini maka fiqh dalam madzhab hanafiyyah dikenal dengan sebutan al-fiqh al-akbar sesuai perkembangan fiqh pada era madzhab ini yang belum didiversifikasi menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. 
Kondisi seperti ini berbeda dengan era madzhab-madzhab fiqh sesudahnya di mana para tokohnya cenderung memisahkan pembahasan fiqh secara monografis dan terpisahkan dari kajian tentang tauhid maupun tashawuf. Dalam kaitan ini, menurut al-Syafi’i fiqh adalah mengetahui hukum-hukum syar'i yang bersifat ‘amali (praktis) dan diperoleh melalui proses istinbath hukum berdasarkan dalil-dalil tafshili (terperinci). Dari definisi ini dapat dikemukakan bahwa fiqh merupakan hukum-hukum operasioanal yang sangat praktis dan aplikatif sebagai preskripsi dan panduan manusia mukallaf dalam menjalankan aktivitas kesehariannya dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Selain itu, apa yang bisa digarisbawahi dari definisi tadi bahwa ketentuan fiqh dilandaskan pada dalil-dalil syar’i yang sangat transendental dan dalam proses pengambilan postulasi hukumnya memerlukan keterlibatan nalar ijtihad atan istinbath.
Pada prinsipnya, setiap hukum yang melekat pada berbagai peristiwa dan kejadian mempunyai pijakan dalil berupa wahyu. Namun demikian, tidak semua pijakan wahyu dapat tergambarkan secara tersurat dalam lembaran teks al-Qur'an maupun al-Hadith. Sebaliknya, tidak sedikit pijakan wahyu yang hanya mengungkapkan persoalan hukum secara tersirat. Atas dasar itu maka dalil wahyu sesungguhnya dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Dalil juz'i / tafshili , yaitu dalil-dalil terperinci berupa teks wahyu yang menunjukkan hukum-hukum tertentu secara tersurat. Seperti teks wahyu yang dengan lugas menunjukkan hukum wajib melakukan shalat fardu, puasa ramadhan, haram berbuat zina, mencuri, mengalirkan darah sesamanya dan lain-lain.
2. Dalil kulli / ijmali, yaitu dalil global yang tidak menunjukkan ketentuan-ketentuan hukum tertentu secara tersurat, tetapi cukup secara tersirat berupa indikator-indikator. Seperti teks hadith yang berbunyi:
لا ضرر ولا ضرار
Artinya: Tidak boleh melakukan kemudaratan (HR Imam Ibnu Majah).
Hadith ini tidak secara tersurat menunjukkan hukum haram terhadap peristiwa tertentu. Sebaliknya, tidak sedikit jumlah peristiwa yang ketentuan hukumnya dilandaskan pada hadith ini. Seperti keharaman mengonsumsi narkoba serta perbuatan-perbuatan lain yang dapat mumudaratkan diri sendiri maupun orang lain. 
Jenis dalil pertama (juz’i) jelas merupakan acuan fiqh sebagaimana disebutkan secara tersurat dalam definisi fiqh tadi. Namun demikian, bukan berarti jenis dalil kedua (kulli) sama sekali tidak bersentuhan dengan proses pembentukan fiqh. Sebab, objek pembahasan ushul fiqh sebagai metodologi istinbath adalah berkaitan dengan dalil-dalil yang bersifat kulli ini untuk membuat rumusan kaidah-kaidah yang mempunyai fungsi memudahkan proses istinbath atau penggalian hukum-hukum operasional. Dengan ungkapan lain, kaidah-kaidah ushuliyyah yang sangat dibutuhkan Mujtahid dalam kerja akademiknya untuk menggali hukum-hukum operasional bisa disebut juga sebagai dalil kulli karena ia dibangun berdasarkan dalil-dalil wahyu yang mengungkapkan secara umum dan garis besar dan dipadukan dengan unsur logika aksioma.
Karena itu dalil kulli dan juz’i dalam konteks penggalian dan perumusan hukum-hukum (fiqh) mempunyai hubungan sangat erat dan hampir tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Artinya, dalam rangkaian kerja istinbath al-ahkam (penggalian hukum-hukum) selain diperlukan dali-dalil juz’i yang tersurat dalam teks wahyu, juga tidak bisa mengabaikan dalil-dalil kulli baik berupa prinsip-prinsip umum seperti tersirat dalam kandungan teks wahyu maupun kaidah-kaidah ushuliyyah yang sebenarnya juga dikreasi dan diadopsi dari kandungan teks wahyu. Seperti kaidah yang mengatakan bahwa hukum asal dari teks yang berisi perintah adalah wajib; hukum asal dari larangan dalam sebuah teks adalah haram; lafadz umum berlaku keumumannya selama tidak dijumpai pengkhususan dalam teks lain; dan lain-lain.

Dengan demikian, fiqh sebagai produk istinbath yang dikreasi dengan menggunakan metodologi ushul fiqh dapat disebut sebagai unsur aplikasi dalam struktur ajaran agama. Sebab, fiqh dengan proses penggaliannya seperti dijabarkan tadi merupakan hukum-hukum praktis (‘amaliyyah) dan aplikatif (tathbiqiyyah) yang langsung bersentuhan dengan kehidupan mukallaf dalam pranata sosial mereka sehari-hari. Dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, tidak ada satu pun perbuatan mukallaf yang tidak mengandung implikasi hukum. 

Dalam konteks inilah fiqh (hukum Islam) mempunyai peran sangat sentral dalam penentuan arah kemaslahatan ummat baik di dunia maupun di akhirat. Untuk kemaslahatan akhirat lalu dimunculkanlah fiqh ibadah menyangkut hubungan vertikal seorang hamba dengan Tuhan Penciptanya. Sebaliknya untuk mengapresiasi kemaslahatan dunia yang profan lalu muncullah fiqh mu’amalah dengan beragam varian dan implikasinya. Dengan kenyataan seperti itu, fiqh merupakan pilar penting dalam struktur ajaran agama secara keseluruhan. Fiqh tak lain merupakan aturan konkret dalam upaya merespons aneka persoalan dan peristiwa hukum yang terus menegmuka sepanjang sejarah kemanusiaan. 
Diterbitkan di: 29 Januari2011   


Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2108661-pengertian-fiqh/#ixzz1qs5gr3OG





 A. DEFINISI FIQH 

Untuk memahami fiqh secara lebih jauh perlu kiranya para peminat fiqh terlebih dahulu mengerti dan memahami beberapa pengertian fiqh. Pengertian itu baik secara bahasa maupun istilah.

1. Fiqh Secara Bahasa (Etimologi) 
Berdasarkan kepustakan Ilmu Fiqh, Fiqh berasal dari bahasa Arab yaitu faqiha-yafqahu-fiqhan ( فقه- يفقه- فقها) artinya memahami. Menurut salah satu ulama klasik yaitu Syaikh Syarif ibn Muhammad al-Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifat bahwa fiqh itu adalah satu rumusan tentang pemahaman terhadap pembicara “’ibaratun ‘an fahmin garadil mutakalim min kalamihi” (عبارة عن فهم غرض المتكلم من كلمه).
Sebagai pembanding, Fiqh menurut ulama modern yaitu Wahbah az-Zuhaili menyebutkan bahwa Fiqh adalah “al-fahmu” ( الفهم) yaitu pemahaman secara mendalam (fahmun mutlaqan).

Dibawah ini contoh kata fiqh dan definisinya berdasarkan:

a. Al-Qur’an

“Mereka berkata: "Hai Syu'aib, kami tidak banyak “mengerti” tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara Kami; kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami."
(Q.S. Hud (11): 91)

b. As-Sunnah 
من ير د الله به خيرا يفقهه فى الدين.
Man yuridillahu bihi hairan yufaqqihhu fid dini.
“Apabila Allah menginginkan bagi seseorang kebaikan, Allah menjadikan dia paham tentang agama (faqih).”
(H.R. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal, Tirmizi, dan Ibnu Majah).

Demikianlah definisi Fiqh secara bahasa. Sebagai kesimpulan dapatlah ditegaskan lagi bahwa Fiqh secara bahasa adalah pemahaman. Jadi, menurut bahasa segala bentuk pemahaman seseorang terhadap sesuatu dapat dikatakan fiqh.

2. Fiqh Secara Istilah (Terminologi) 
Dikalangan para ulama fiqh, fiqh secara istilah berbeda-beda pendapat namun secara intinya sama. Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqh secara terminologi dapat dikemukakan pendapat ulama fiqh terdahulu (salaf) maupun sekarang (khalaf) yang diakui jumhur fuqaha. 

1) Fiqh adalah ilmu tentang hukum syara’ mengenai perbuatan (manusia) yang amali (praktikal) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang rinci.
(العلم بالاحكا م الشرعية العملية المكتسبة من اد لتها التفصيلية).
Al ‘ilmu bil ahkamisy syar’iyyati al ‘amaliyati al muktasabati min adillatiha at tafshiliyyati.
(Tajuddin Ibnu as-Subky)

2) Fiqh adalah hukum syara’ yang amali diperoleh dengan cara istinbath (penetapan hukum) oleh para mujtahid dari dalil syara’ yang rinci.
(الا حكا م الشر عية العملية التى استنبطها المجتهد و ن من الا دلة الشرعية التفصيلية).
Al-ahkamusy syar’iyyati al ‘amaliyati al lati istinbathiha al mujtahiduna minal adillatisy syar’iyyati at tafshiliyyati.
(Zakariya al-Bari)

3) Fiqh adalah kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat amali yang diambil dari dalil-dalil yang tafsili (rinci).
(مجمو عة الاحكا م الشرعية العملية المكتسبة من اد لتها التفصيلية).
Majmu’atul ahkamisy syar’iyyati al ‘amaliyyati al muktasabati min adillatiha at tafshiliyyati.
(Muhammad Abu Zahrah)

Dari definisi-definisi fiqh secara istilah menurut para ulama di atas, dapat disimpulkan berikut ini.
1. Fiqh menurut pendapat pertama dan kedua dipandang sebagai ilmu yang menjelaskan hukum dan permasalahannya.

2. Fiqh menurut pendapat ketiga yaitu sebagai hukum.
Dari definisi Fiqh secara terminologi di atas ada beberapa kata yang sebaiknya diketahui. 

Adapun beberapa kata itu adalah:
1. Hukum Syara’
Hukum Syara’ adalah adalah segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam hal aqidah, ibadah, akhlak, muamalah dan aturan-aturan hidup untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.
2. Perbuatan (manusia) yang amali
Perbuatan manusia yang amali adalah maksudnya perbuatan para mukallaf dalam interaksinya sehari-hari. Contohnya; shalat, puasa dan zakat.
3. Dalil-dalil yang rinci
Dalil-dalilnya yang rinci maksudnya yaitu satuan dalil-dalil yang masing-masing menunjuk kepada suatu hukum tertentu.

Contohnya: Q.S. Ath- THaha (20):14.

“Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.”

Dalil di atas memberikan dalil kewajiban shalat.

4. Istinbath (Penetapan Hukum)
Penetapan hukum cara menetapkan suatu hukum dari sumber dalil-dalil Fiqh (Al-Qur’an dan As-Sunnah) dengan menggunakan metode ijtihad. 

5. Mujtahid
Mujtahid adalah para pakar Hukum Islam yang melakukan ijtihad.


Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2167875-definisi-fiqh/#ixzz1qs4D3s7T





 Pengertian Fiqh
Fiqih menurut bahasa berarti ‘paham’, seperti dalam firman Allah:
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa:78)
dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya.” (Muslim no. 1437, Ahmad no. 17598, Daarimi no. 1511)
Fiqih Secara Istilah Mengandung Dua Arti:
Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
Hukum-hukum syari’at itu sendiri. Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun-rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Hubungan Antara Fiqh dan Aqidah Islam
Diantara keistimewaan fiqih Islam -yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf- memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir. Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)
Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml: 3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat Fiqhul Manhaj hal. 9-12)
Fiqh Islam Mencakup Seluruh Perbuatan Manusia
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma’ (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan Fikih Al Ahwal As sakhsiyah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut Fiqih Mu’amalah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Siasah Syar’iah.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai Fiqih Al ‘Ukubat.
Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan Fiqih As Siyar.
Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Sumber-Sumber Fiqh Islam
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
1. Al-Qur’an
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya.
Sebagai contoh:
Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah subhanahu wa Ta’ala: (QS. Al maidah: 90)
Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah: 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
2. As-Sunnah
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi:
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran.” (Bukhari no. 46, 48, muslim no. 64, 97, Tirmidzi no. 1906,2558, Nasa’i no. 4036, 4037, Ibnu Majah no. 68, Ahmad no. 3465, 3708)
Contoh perbuatan:
Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no. 635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no. 3413, dan Ahmad no. 23093, 23800, 34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: “Apa yang biasa dilakukan Rasulullah di rumahnya?” Aisyah menjawab: “Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan:
Apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no. 1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya: “Shalat subuh itu dua rakaat”, orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi shollallahu’alaihiwasallam terdiam. Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat Sunat Qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam dengan sanad yang sahih.
As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (Bukhari no. 595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
3. Ijma’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib. Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah rodiallahu’anhu, bahwa Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan.” (Tirmidzi no. 2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
4. Qiyas
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan di dalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nash yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya. Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun:
Dasar (dalil).
Masalah yang akan diqiyaskan.
Hukum yang terdapat pada dalil.
Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam (Fiqhul Manhaj ‘ala Manhaj Imam Syafi’i).
***
Sumber: Majalah Fatawa
Dipublikasikan kembali oleh www.muslim.or.id




 Fiqh merupakan salah satu disiplin ilmu Islam yang bisa menjadi teropong keindahan dan kesempurnaan Islam. Dinamika pendapat yang terjadi diantara para fuqoha menunjukkan betapa Islam memberikan kelapangan terhadap akal untuk kreativitas dan berijtihad. Sebagaimana qaidah-qaidah fiqh dan prinsif-prinsif Syari'ah yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lima aksioma, yakni; Agama, akal, jiwa, harta dan keturunan menunjukkan betapa ajaran ini memiliki filosofi dan tujuan yang jelas, sehingga layak untuk exis sampai akhir zaman. 
Pengertian Fiqh

Fiqh menurut Etimologi
Fiqh menurut bahasa berarti; faham, sebagaimana firman Allah SWT: "Dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku. Supaya mereka memahami perkataanku." ( Thaha:27-28) Pengertian fiqh seperti diatas, juga tertera dalam ayat lain, seperti; Surah Hud: 91, Surah At Taubah: 122, Surah An Nisa: 78

Fiqh dalam terminologi Islam
Dalam terminologi Islam, fiqh mengalami proses penyempitan makna; apa yang dipahami oleh generasi awal umat ini berbeda dengan apa yang populer di genersi kemudian, karenanya kita perlu kemukakan pengertian fiqh menurut versi masing-masing generasi;

Pengertian fiqh dalam terminologi generasi Awal
Dalam pemahaman generasi-generasi awal umat Islam (zaman Sahabat, Tabi'in dst.), fiqh berarti pemahaman yang mendalam terhadap Islam secara utuh, sebagaimana tersebut dalam Atsar-atsar berikut, diantaranya sabda Rasulullah SAW:
"Mudah-mudahan Allah memuliakan orang yang mendengar suatu hadist dariku, maka ia menghapalkannya kemuadian menyampaikannya (kepada yang lain), karena banyak orang yang menyampaikan fiqh (pengetahuan tentang Islam) kepada orang yang lebih menguasainya dan banyak orang yang menyandang fiqh (tetapi) dia bukan seorang Faqih." (HR Abu Daud, At Tirmdzi, An Nasai dan Ibnu Majah)

Ketika mendo'akan Ibnu Abbas, Rasulullah SAW berkata:
"Ya Allah, berikan kepadanya pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya tafsir." (HR Bukhari Muslim)

Dalam penggalan cerita Anas bin Malik tentang beredarnya isu bahwa Rasulullah SAW telah bersikap tidak adil dalam membagikan rampasan perang Thaif, ia berkata:
"Para ahli fiqihnya berkata kepadanya: Adapun para cendekiawan kami, Wahai Rasulullah ! tidak pernah mengatakan apapun." (HR Bukhari)

Dan ketika Umar bin Khattab bermaksud untuk menyampaikan khutbah yang penting pada para jama'ah haji, Abdurrahman bin Auf mengusulkan untuk menundanya, karena dikalangan jama'ah bercampur sembarang orang, ia berkata:  "Khususkan (saja) kepada para fuqoha (cendekiawan)." (HR Bukhari)

Makna fiqh yang universal seperti diatas itulah yang difahami generasi sahabat, tabi'in dan beberapa generasi sesudahnya, sehingga Imam Abu Hanifah memberi judul salah satu buku akidahnya dengan "al Fiqh al Akbar." Istilah fuqoha dari pengertian fiqih diatas berbeda dengan makna istilah Qurra sebagaimana disebutkan Ibnu Khaldun, karena dalam suatu hadist ternyata kedua istilah ini dibedakan, Rasulullah SAW bersabda:
"Dan akan datang pada manusia suatu zaman dimana para faqihnya sedikit sedangkan Qurranya banyak; mereka menghafal huruf-huruf al Qur'an dan menyia-nyiakan norma-normanya, (pada masa itu) banyak orang yang meminta tetapi sedikit yang memberi, mereka memanjangkan khutbah dan memendekkan sholat, serta memperturutkan hawa nafsunya sebelum beramal." (HR Malik)

Lebih jauh tentang pengertian Fiqh seperti disebutkan diatas, Shadru al Syari'ah Ubaidillah bin Mas'ud menyebutkan: "Istilah fiqh menurut generasi pertama identik atas ilmu akhirat dan pengetahuan tentang seluk beluk kejiwaan, sikap cenderung kepada akhirat dan meremehkan dunia, dan aku tidak mengatakan (kalau) fiqh itu sejak awal hanya mencakup fatwa dan (urusan) hukum-hukum yang dhahir saja." 

Demikian juga Ibnu Abidin, beliau berkata: "Yang dimaksud Fuqaha adalah orang-orang yang mengetahuai hukum-hukum Allah dalam i'tikad dan praktek, karenanya penamaan ilmu furu' sebagai fiqh adalah sesuatu yang baru." 

Definisi tersebut diperkuat dengan perkataan al Imam al Hasan al Bashri: "Orang faqih itu adalah yang berpaling dari dunia, menginginkan akhirat, memahami agamanya, konsisten beribadah kepada Tuhannya, bersikap wara', menahan diri dari privasi kaum muslimin, ta'afuf terhadap harta orang dan senantiasa menasihati jama'ahnya." 

Pengertian fiqh dalam terminologi Mutaakhirin
Dalam terminologi mutakhirin, Fiqh adalah Ilmu furu' yaitu:"mengetahui hukum Syara' yang bersipat amaliah dari dalil-dalilnya yang rinci.
Syarah/penjelasan definisi ini adalah:
- Hukum Syara': Hukum yang diambil yang diambil dari Syara'(Al-Qur'an dan As-Sunnah), seperti; Wajib, Sunah, Haram, Makruh dan Mubah.
- Yang bersifat amaliah: bukan yang berkaitan dengan aqidah dan kejiwaan.
- Dalil-dali yang rinci: seperti; dalil wajibnya sholat adalah "wa Aqiimus sholaah", bukan kaidah-kaidah umum seperti kaidah Ushul Fiqh. 

Dengan definisi diatas, fiqh tidak hanya mencakup hukum syara' yang bersifat dharuriah (aksiomatik), seperti; wajibnya sholat lima waktu, haramnya hamr, dsb. Tetapi juga mencakup hukum-hukum yang dhanny, seperti; apakah menyentuh wanita itu membatalkan wudhu atau tidak? Apakah yang harus dihapus dalam wudhu itu seluruh kepala atau cukup sebagiannya saja?

Lebih spesifik lagi, para ahli hukum dan undang-undang Islam memberikan definisi fiqh dengan; Ilmu khusus tentang hukum-hukum syara' yang furu dengan berlandaskan hujjah dan argumen. 




Hubungan Fiqh dan Syari'ah
Setelah dijelaskan pengertian fiqh dalam terminologi mutakhirin yang kemudian populer sekarang, dapat diambil kesimpulan bahwa hubungan antar Fiqh dan Syari'ah adalah:

Bahwa ada kecocokan antara Fiqh dan Syari'ah dalam satu sisi, namun masing-masing memiliki cakupan yang lebih luas dari yang lainnya dalam sisi yang lain, hubungan seperti ini dalam ilmu mantiq disebut "'umumun khususun min wajhin" yakni; Fiqh identik dengan Syari'ah dalam hasil-hasil ijtihad mujtahid yang benar. Sementara pada sisi yang lain Fiqh lebih luas, karena pembahasannya mencakup hasil-hasil ijtihad mujtahid yang salah, sementara Syari'ah lebih luas dari Fiqh karena bukan hanya mencakup hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah amaliah saja, tetapi juga aqidah, akhlak dan kisah-kisah umat terdahulu.

Syariah sangat lengkap; tidak hanya berisikan dalil-dalil furu', tetapi mencakup kaidah-kaidah umum dan prinsif-prinsif dasar dari hukum syara, seperti; Ushul al Fiqh dan al Qawa'id al Fiqhiyyah.
Syari'ah lebih universal dari Fiqh.

Syari'ah wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia sehingga kita wajib mendakwahkannya, sementara fiqh seorang Imam tidak demikian halnya.
Syari'ah seluruhnya pasti benar, berbeda dengan fiqh.
Syari'ah kekal abdi, sementara fiqh seorang Imam sangat mungkin berubah. 

Patokan-patokan dalam Fiqh
Dalam mempelajari fiqh, Islam telah meletakkan patokan-patokan umum guna menjadi pedoman bagi kaum muslimin, yaitu :

Melarang membahas peristiwa yang belum terjadi sampai ia terjadi.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala : "Hai orang-orang yang beriman ! janganlah kamu menanyakan semua perkara, karena bila diterangkan padamu, nanti kamu akan jadi kecewa ! tapi jika kamu menayakan itu ketika turunnya al-qur'an tentulah kamu akan diberi penjelasan. Kesalahanmu itu telah diampuni oleh Allah dan Allah maha pengampunlagi penyayang." (Q. S. Al-Maidah: 101)

Dan dalam sebuah hadits ada tersebut bahwa Nabi Saw. telah melarang mempertanyakan "Aqhluthath" yakni masalah-masalah yang belum lagi terjadi. 


Menjauhi banyak tanya dan masalah-masalah pelik.

Dalam sebuah hadits di katakan: "Sesungguhnya Allah membenci banyak debat, banyak tanya, dan menyia-nyiakan harta."

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah disia-siakan, dan telah menggariskan undang-undang, maka jangan dilampui, mengaharamkan beberapa larangan maka jangan dlannggar, serta mendiamkan beberapa perkara bukan karena lupa untuk menjadi rahmat bagimu, maka janganlah dibangkit-bangkit!"

"Orang yang paling besar dosanya ialah orang yang menanyakan suatu hal yang mulanya tidak haram, kemudian diharamkan dengan sebab pertanyaan itu."


Menghindarkan pertikaian dan perpecahan didalam agama.
Sebagaimana Firman Allah Ta'ala:
"Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh pada tali Allah dan jangan berpecah belah !" (Q. S. Ali Imran: 103).  Dan firmanNya : "Janganlah kamu berbantah-bantahan dan jangan saling rebutan, nanti kamu gagal dan hilang pengaruh!" (Q. S. Al-Anfal 46). Dan firmanNya lagi : "Dan janganlah kamu seperti halnya orang-orang yang berpecah-belah dan bersilang sengketa demi setelah mereka menerima keterangan-keterangan! dan bagi mereka itu disediakan siksa yang dahsyat." (Q. S. Ali Imran 105)


Mengembalikan masalah-masalah yang dipertikaikan kepada Kitab dan sunah. 
Berdasarkan firman Allah SWT: "Maka jika kamu berselisih tentang sesuatu perkara, kembalilah kepada Allah dan Rasul." (Q. S. An-Nisa 9).  Dan firman-Nya: "Dan apa-apa yang kamu perselisihkan tentang sesuatu maka hukumnya kepada Allah." (Q. S. Asy- Syuro: 10). 

Hal demikian itu, karena soal-soal keagamaan telah diterangkan oleh Al-qur'an, sebagaimana firman Allah SWT: "Dan kami turunkan Kitab Suci Al-qur'an untuk menerangkan segala sesuatu." (QS. An-Nahl 89).  Begitu juga dalam surah: Al-An'am 38, An-Nahl 44 dan An-Nisa 105, Allah telah menjelaskan keuniversalan al Qur'an terhadap berbagai masalah kehidupan. 

Sehingga dengan demikian sempurnalah ajaran Islam dan tidak ada lagi alasan untuk berpaling kepada selainnya. Allah SWT berfirman :  "Pada hari ini telah Ku sempurnakan bagimu agamamu, telah Ku cukupkan ni'mat karunia-Ku dan telah Ku Ridhoi Islam sebagai agamamu." (Q. S. Al Maidah: 5). 

Dan firman Allah SWT: "Tidak ! Demi Tuhan ! mereka belum lagi beriman, sampai bertahkim padamu tentang soal-soal yang mereka perbantahkan kemudian tidak merasa keberatan didalam hati menerima putusanmu, hanya mereka serahkan bulat-bulat kepadamu." (Q. S. An-Nisa: 66) 

Pembahasan ini, Insya Allah akan bersambung pada judul "Sejarah Perkembangan Fiqh dan Meredupnya." (pent.)

Oleh: Jajat Sudrajat, Lc
Sumber: Aldakwah 

alislam.or.id



Minggu, 25 Maret 2012


Tuhfathul Athfal (Ilmu Tajwidz)
Diposting oleh : alip
Kategori: Kitab Nadzoman - Dibaca: 946 kali
Tuhfatul Athfal adalah Kitab Nadzoman Ilmu Tajwidz di atas Hidayatus Sibyan. Kitab ini di Pondok Pesantren Ummul Qura termasuk wajib dihafalkan santri diluar kepala, sudah diterjemahkan dalam bentuk syair oleh Almukarram KH. Syarif Rahmat RA, SQ, MA


· يَقُوْلُ رَاجِى رَحْمَةَ الْغَفُوْرِ دَوْمًاسُلَيْمَانُ هُوَا الْجَمِزُوز 1.
Berkata yang mengharap ampunan Tuhan # Al Jamzuri yang bernama Sulaiman
· اَلْحَمْدُللهِ مُصَّلِيًّا عَلَى مُحَمَّدٍ وَألِهِ وَمَنْ تَلاَ 2.
Puji bagi Allah sambil bersholawat # pada nabi keluarganya dan umat ·
وَبَعْدُهَدَ النَظْمُ لِلمُرِيْدِ فِى النُّوْنِ وَالتَنْوِيْنِ وَالْمُدُدِ 3.
Ini kitab untuk murid di Nazomkan # tentang nun tanwin dan panjangnya bacaan
· سَمَّيْتُهُ بِنُخْفَةِ ألأَطْفَل عَنْ ثَيْخِنَا ألمَهْيِ ذِى الكَمَالِ 4.
Dengan Tuhfatul Alfal aku namakan # dari Syehk Mahyi yang berkesempurnaan
· اَرْجُوْبِهِ اَنْ يَنْقَعَ الطُّالاَّبَ وَالاَجْرَوَ الْقَبُوْلَ وَالثَرَابَ 5.
Semoga berguna bagi para santri # di terima berpahala hari nanti ·
لِلنُّوْنِ إِنْ تَسْكُنْ وَلِتَّنْوِيْنِ اَرْبَعُ اَحْكَامِ فَخَدٌ تُبْيِيْن 6.
Nun mati dan tanwin padanya berlaku # 4 hukum ambilah penjelasanku
· فَااْلأَوَّلُ اْلأِظْهَارُ قُبْلَ اْلأَحْرُفْ لِلْحَق سِتٌّ رَتِبَتْ فَتُعَرفِ 7.
Yang pertama Idzhar terjadinya dalam # menghadapi huruf Halaq jumlah 6
· هَمْنٌ فَهَاءُ ثُمَّ عَيْنُ خَاءُ مُحْمَلَتَانِ ثُمَّ غَيْنُ خَاءُ 8.
Hamzah dan Ha huruf Kha huruf Ain # kemudian huruf Kha dan huruf Ghoin·
وَالثَانِى إِدْغُامُ بِسِّتَةٍ اَتَتْ فِىْ يَرْمَلُوْنَ عِنْدَهُمْ قَدْ ثَبَتَتُ 9.
2 Idzghom oleh ulama di himpun # hurupnya 6 dalam kata yaimulun
· لَكِنَّهَا قِسْمَانٍ قِسْمٌ يُدْغَمَا فِيْهِ بَغُنَّةٍ بِيَنْمُوْ عُلَمَا 10.
Namun Ia ada 2 ingat kamu # yang pertama Bigunnah di singkat yanmu
· إِلاَ إِذَاكَانَ بِكِلْمَةٍ فَلاَ تُدْغِمْ كَدُنْيَا تُمَّ ضِنْوَانٍ تَلاَ 11.
Jangan idgom bila dalam satu kata # seperti dunya dan sinwan baca nyata
· وَالَثَانِى إِدْغَامٌ بِغَيْرِ غُنَّة فِى الَلاَمِ وَالرَّثُمَّ كَرِرَنَّه 12.
Yang kedua idqom bigouin gunnah # pada Lam dan Ra maka ulang- ulanglah
· وَالثَالِثُ الاِقِلاَبُ عِنْدَالبَاءِ مِمَّانِغُنَّةٍ مَعَ اْلاِخْفَاءِ 13.
Tiga pada huruf Ba Iglab terdengar # suara Mim berdengung beserta samara
· وَالؤَّابِعُ اْلإِخْفَاءُ عِنْدَالْفَضِلِ مِنَ الْحُرُوْفِ وَاجِبِ لِلْفَاضِلِ 14.
Bacaan ikhfa itu hokum ke 4 # disisa huruf kata ulama umat
· فِى خَمْسَةٍ مِنْ بَعْدِ عَشْرِ رَمْزُهَا فِىْ كِلْمِ هدَ الْبِيْتِ قَدْضَمَنْتُهَا 15.
Lima belas sedang huruf rumusannya # dalam bait ini aku merangkumnya
· صِفْدَا تَّنَاكَمْ جَادَ شَخْصِ قَدْسَمَا دُمْطَيِّبًازِدْ فِى تُقَى ضَعْ ظَالِمَا 16.
Pujilah orang yang murah lagi mulia # berbakti bertaqwa jangan aniaya
· وَغُنَّ مَيْمَا ثُمَّ نُوْنَ شُدِّرَا وَسَمٍ كُلاَّ حَرْفِىفُنَّةٍ بَدَا 17.
Baca dengan Mim dan Nun yang ditaszidkan dengan huruf ghunnah Ia di namakan
· وَالْمِيْمُ اِنْتَسْكُنْ تَجِى قَبْلَ الْحِجَاء لاَأَلِفُ لَيِّنَةٍ لِدَى الْحِجَاء 18.
Mim sukun sebelum huruf hijaiyah # asalkan bukan huruf Alif layinah
· اَحْكَامُهَا ثَلاَثَةٌ لِمَنْ خَبَطْ إِحْفَاءُ اِدْغَامُ وَاِظْهَارُفَقَطْ 19.
Hukumnya hanya terbagi jadi 3 # ikhfa dengan Idhghom serta Idzar juga
· فَااْلاَوَّلُ اْلاِخْفَاءُ قَبْلَ اِليَاءِ وَالثّمِدِ الشَّفْوِيَّ لِلْفُرَاء 20.
Ikhfa bila bertemu Ba yang pertama # Ikhfa safawi menyebutya ulama
· وَالثَّاتِى اِدْغَاُ بِمِثْلِهَا أَتَى وَسَمِّ اِدْغَامًا صَغِيْرًا يَافَتَى 21.
Bila setelahnya huruf Mim yang hadir # cara bacanya dengan Idgom Shogir
· وَالثَالِثُ الاِظْهَارُ فِى الْقَيَّه مِنْ اَحْرَفٍ وَشَمِّهَاشَفِويَّه 22.
Pada sisa hurufnya di baca # Idzar Izhar safawi Ia di beri gelar
· وَاحْدَرْلَكَه وَاوِ وَفَاأَنْ تَخْتِفى لِّقُرْبِهَاوَالأِتِّحَادِّ فَاغْرِفْ 23.
Hindari Ikfah pada Fa atau wawu # karena makrojnya Idhar semoga kau maklum ·
لِلاَّمِ الْحَلاَنِ قَبْلَ اِلاَحْرُفِ أَوْلاَ هُمَاإِظْهَارُهُ فَلْتُعْرَفِ 24.
Alif Lam itu terbagi dua hukum # yang pertama Idhar semoga kau maklum
· قَبْلَ ارَبْعَ مَعْ عَشَّرَةٍ خُدْعِلْمَهُ مِنْ اَبْغِ حَجَتَكَ وَخَفْ عَقِيْمَه 25.
Sebelum Ia hirup camkanlah # pada Abgi Hajaka Wakhop Aqimah ·
ثَانِيْهِمَا اِدْمُهَا فِى اَرْبَع وَحَشْرَةٍ أَيْضًا وَرَمْزُهَافَاءِ 26
Yang ke 2 Idghom ia juga # rumus hurufnya hendaknya engkau jaga
· طِبْ ثُمَّ حِلْ رَحْمًا تَفْدَانِعَم دَعْسُوْءَ ظَنَّ زَرْشَرِيْفًا لِلُكَرَاص 27.
· وَالَّلاَمُ اْلاُوْلَى سَمِّهَاقَمَرِيَّه وَالَلاَّمُ الأُخْرَه سَمْهَا سَكِيَّه 28.
Alif Lam pertama itu Qomariah # yang keduanya dinamakan Syamsyiah
· وَأَظْهِرَنَّ لاَمَ فِعْلِ مُطْلَقَا فِى نَحْوِ قُلْ نِعَمُ وَقُلْنَا وَالْتَقَى 29.
Lam Fi’il secara Mu’laq di idzharkan # Qulnaam kulna ittaqo di contohkan
· إِنَّا الصِّفَاتِ وَالْمَخَارِجِ انَفَقَ حَرْفَانِ فَاالْمِثْلاَنِ فِيْهِمَا أَحَقْ 30.
Dua huruf yang sifat makrojnya sama # hukumnya Idgom misli di beri nama
· وَإِنْ يَكُوْن مُخْرَجًا تَقَارَبَا وَفَى الصِّفَاتِ اخْتَلَفَا يُلَقَّبَا 31.
Sedangkan yang makhrajnya saling berdekatan # namun sifatnya berbeda di namakan
· مُتَقَارِبَيْنِ أَوْيَكُوْنَ اتَفَقَا فَى مُخَرْجٍ دُوْنَ الصِّفَاتِ حُقَِقَا 32.
Mutaqoribain dan yang sama makrojnya # serta berbeda sifat itu namanya
· بَاالْمُتَجَانَسَيْنِ ثُمَّ إِنْ سَكَنْ أَقَلْ كُلَّّ فَاالصَّغَيْرَ سَمِيَّنْ 33.
Mutajanisain kemudian jika mati # permulaannya Idgom sogir namai ·
اَوْحَرِّ كَ الْحَرْفَان فِى كُلِّ فَقُلْ كُلُّ كَبِيْرُ وَافْهَمَنْهُ بِاالْمُثُل 34.
Atau bila terdapat harokat di awal # bernama Idgom kosir berilah missal
· وَالمَدُأصَبِيْ وَفَرْعِيُ لَهُ وَسَمِّ أَوَّلاً طَبِيْعِيَّاوَهُو 35.
Bacaan panjang itu asli dan par’i # Mad asli di sebut juga Mad tobi’i ·
مَالاَتُوَ قُفُ لَهُ عَلَى سَبَبِ وَلاَبِدُوْنِهِ الْحُدُوْفِ تُجْتَلَبْ 36.
Yang tidak pada sebab di gantungkan # tidak pula ada huruf di dapatkan
· بَلْ اِيُّ حَرْفٍ غَيْرُهَمْزِاَوْسُكُنْ جَاَعدَ مَدِّ فَاالطَّبِيْعِىُّ يَكُوْنَ 37.
Selain sukun atau hamzah yang datang # setelah itu mad tobi’i di pandang
· وَاْلاَحْرُا الْفَرْعِيُّ مَوْقُفَ عَلى سَتَتْ كَهَمْزٍأَسْكُنِ مُسْجَلاَ 38.
Adapun hukum mad far’i di tentukan # sebab hamzah atau dengan disukunkan
· حُرَوْ فَهُ نلاَ ثَةُ فَعِيْهَا مِنْ لَفْظٍ وَايٍ وَهْيَ فِىْ نُوْحِيْهَا 39.
Huruf mad itu Alif, wawu, ya # dalam lafal nuhiha di terangkan ia
· وَالْكَسَرُقَبْلَ الْيَاءُ وَقَبْلَ الوَ فِصَم شَرْطُ وَفَتْحٌ قَبْلَ الْفٍ مُلْتَزَمْ 40.
Kasroh sebelum ya, wawu beda domah # seperti itu Alif setelah pathah
· وَاِللْيَنُ مِنْهَا اليَاوَاوَوٌ سَكَنَا إِنِ انفِتَاحٌ قَبْلَكِيْلً أَمْكَنَا 41.
Bacaan Nun ya wau di sukunkan # jika sebelumnya huruf di patahkan
· لِلْمَدِّ اَحْكَامُ تَلاَثَةُ تَلُوْمُ وَهْيَ الوُجُوْبُ وْالْجَوَازُ زَاللزُوْمُ 42.
Mad itu terbagi dalam 3 hukum # hukum wajib hukum zaiz hukum luzum
· فَوَاجِبٌ إِنْ جَاء هَمْنٌ بَعْدَمدْ فِىكِلْمَةٍّ 43.
Mad wajib Muttasili bila ada Hamzah # datang setelah mad di satu kalimat
· وَجَائِزٌ مَذَ وَقَصْرُإِنْ فُصِل كُلُّ بِكِلْمَةٍ وَهَذَ الْمُقَهِل 44.
Jaiz boleh panjang boleh koshor tandanya mad dan hamzah dalam 1 apadz berbeda
· وَمِثْلُ ذَا أِنْ عَرَضَالسُّكُُوْنُ وَقَفً كَتَعْلَمُوْنَ نَسْتَعِيْنُ 45.
Begitupula hukum mad aridli sukun # seperti lafad nasta’in dan ta’lamun
· وَقَدِّمِ المَدَّ عَلَى الهَمْزِوَذَا بَدَلْ كَأمَنُوْ وَإِيْمَانًا خُدَا 46.
Dahulukan hamzah atas mad semisal # lapad amana dan imana mad badal
· وَلاَزِمُ اِذَا سُكُوْنُ أَصُل وَصْلاً وَوَ قْفًا بَعْدَمَدِ طُوِّلاَ 47.
Hukum yang asal urakof ataupun washol setelahnya mad namanya lazim mutawal
· أَقْسَامُ لاَزِمٍ لَدَيْهِمْ أَرْبَعَه وَتِلْكَ كِلْمِيٌ وَحَرْفِيْ مَعَه 48.
Yang namanya mad lazim itu terbagi # empat lazim kilmi dan lazim harfi ·
كِلاَ هُمَا مُخَفَّفٌ مُثَقَل فَهَدِهِ اِرْبَعَةُ تَفَصَل 49.
Bisa Mukhofaf dan bisa Musaqol # semua empat ini berikut urainnya
· فَاءِبِكِلْمَةٍ سُكُوْنُ لِجْتَ صَعَ حَرْفِ مَدٍ فَهْوَكِلْمِيٌ وَقَعْ 50.
Bila sukun dan huruf kumpul bersama # disatu kata kilmi di beri nama ·
أَوْفِى ثُلاَثِيْ الْحُرُوْفِ وَجِدَا وَالْمَدُّ وَسْطُهُ فَحَرْفِيُّ جَدَا 51.
Atau didalam huruf bangsa sulasi # yang di tengahnya huruf mad itu harfi
· كَلاَهَمَا مُثَقْلَ إِنْ أدٌ غِمَا مُخَفَّفٌ كُتٌّل إِذَالَمْ يُدْ غَمَا 52.
Di baca Musaqol bila di Idgomkan # dan Mukhofaf bila tidak di Idghomkan
· وَالَّزِ مُ الْحَرْفِيُّ اَوَّلَ الَسُّوَرْ وَحُوْدُهُ وَفِى ثَمَانِ انْحَصُ 53.
Mad lazim harfi itu diawali surat # semuanya ada 8 tercatat
· يَجْمَعُهَا حُرُوْفُ لَمْ عَسَلْ نَقَصْ وَعَيْنُ ذَرْوَجْهَيْنِوَالطُّوُ أَخَصْ 54.
Pada kata kam asal Naqos cuma # Ain dua wajah dan panjang ulama
· وَمَاسِوَ الْحَرْفِ الثَانِى لاَأَلِفْ فَمَدُّهُ مَدَّاطَبِيْعِيًّا أَلِفْ 55.
Selain Alif atau huruf ke dua # ukuran panjangnya madtobi’i dia
· وَذَالَ أَيْضًا فِى فَوَ إِنْح السُّوَرْ فِىلَفْظ حَىٍّ طَاهِرٍ قَدِتخْحَص 56.
Ada juga yang pada pembuka surat # pada lapaz hayun thoirin di muat
· وَيَجْمُعْ الفَوَائِحِ اْلاَرْبَعَ عَشَر ضِلْ سُحَيرًا مَنْ قَطَعَكَ ذَاشُتَهَرْ 57.
Berjumlah 14 huruf pembuka # rumus hurufnya Silsuhairo Mankotoaka ·
وَتَمَّذَ النَّظْمُ يَحِمْدِاللهِ عَلى تَمَامِه بِلاَتِنَاهِى 58.
Alhamdulillah tamat ini Nadhoman # dengan pujian yang tanpa kesudahan
· ثُمَ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ أَبَدًا عَلى خِتَامِ اْلأَنْبِيَاءِ أَحْمَدَا 59.
Sholawat dan salam untuk selamanya # atas Rahmat penutup para nabi
· وَاْألِ وَالصَّحْبِ كُلِّ تَابِع وَكُلِّ قَارِئ وَكُلَّ سَمِّع 60.
Keluarga sahabat serta tersebar # tabi’in para Qori juga pendengarnya
· اَبْيَاتُهَانَدُ بَدَالِدِى النُّهَى تَارِيْخُهُ بْشَرَى لِمَنْ يّقِيْنُهَا 61.
Baitnya 61 Nadzoman # tahunnya satu satu sembilan delapan

Syu'ubul Iman (cabang-cabang Iman)

Diposting oleh : Admin
Kategori: Kitab Nadzoman - Dibaca: 667 kali

Syuubul Iman merupakan nadzaman yang berisi ilmu tauhid membahas tentang cabang-cabang dari iman. termasuk kitab wajib hafal bagi santri Pondok Pesantren Ummul Qura dan diterjemahkan dalam bentuk syair oleh KH. Syarif Rahmat RA, SQ, MA.
شعب الأ يمان · اَلْحَمْدُاللهِ الَّذِقَدْصَيَّرَ إِيْمَانَ شَخْصٍ شُعَيْبُ فَتُتَمَّمُ 1.
Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan # iman seseorang bercabang maka disempurnakan
· هدِي بُيُتِ مِنْ كَتَابِ الكُوشِى مَنْ قَالَ بَعْدَ صَلاَتِنَا وَتُسَلِّمُ 2.
Ini bait yang ku angkat dari kitabnya Al imam # Al khusni yang berkata sholawat salam
· الْمُحَمَّدِ وَلأَلِهِ وَصَحَابَتِه مَادَارَشَمْسِ فِى السَّمَآءِ وَأَنْجُمُ 3.
Kepada nabi Muhammad keluarga shohabatnya # selama mentari dan bulan di langit bercahaya
· إِيْحَانُنَابَضِعٌ وَعَيْنُ شُعْبَهُ يَسْتَكْمِلَنْهَا اَهْلِ فَضْلٍ يَعْظُمُ 4.
Iman kita cabangnya 77 terhitung # menyempurnakannya insan utama nan agung
· اَمِنْ بَرَبِّكَ وَأَلْمَلاَئِكِ وَالْكُتُبِ وَالأَنْبِيَا وَبِيَوْمٍ بَعثِى العَالَمُ 5.
Berimanlah pada Allah Malaikat dan Kitabnya # para nabi dan kepada hari hancurnya dunia
· وَالْبَعْثِ وَالْقَدَرِ الأْجَلِيْلِ وَجَسِمِنَا فِى مَحْشَى فِيْهِ الْخَلاَئِقٍ تَحْثَمُ 6.
Pada kebangkitan dan taqdir serta kumpulnya makhluk # di padang masyar seluruh manusia pada mabuk
· وَبِأَنَّ مَرْجِعَ مُسْلمٍ لِجَنَاتِهِ وَبِأنِّ مَرْجِعَ كَافِرٍ لِجَهَنَّمُ 7.
Dan yakin surga itu tempat kembali orang Islam sedangkan kafir tempat kembali jahanam
· وَاجْبُبْ إِلَيْكَ خَفْ اَلِيْمَ حِنَّابِهِ وَلِرَحْمَةِ ارجُ بَقَ كَّلْنَايَا مُسْلِمُ 8.
Cintailah tuhanmu takutlah akan siksanya # Hai muslim mohon bertaqwakal kepadanya
· وَاحْبُبْ نَبِيِّكَ ثُمَا عَظِمُ قَدْرُد وَابخُل بِدِيْنِكَ مَايُرَى بِكَ مَاثَم 9.
Cintailah Nabimu agungkanlah kedudukannya # kikirlah dengan agama biala berdosa karnanya
· وَاظْلُبْ بِعِلْمٍ ثُمَّ لِقَنْهُ الوَرَى عَظِم كَلاَمُ البّ و 10.
Carilah ilmu lalu ajarkan pada semua insan baca Alquran bersucilah engkau dapat penjagaan
· حَبِلْ الصَّلاَةُ وَزَكِّ مَالَكَ ثُمَّ صُمِ وَاعْكُقُ وَحُبَحَ وَجَاهِدَتَ فَتُكْرَمَ 11.
Dirikanlah solat zakat hartamu soundah ramadhan I’tikaf naik haji berjihad engkau di mulyakan
· رَبِّطْ تَثَبَّتْ اَدِّخَمْسَ مَغَافِمَ حَتَّى يُفَرِّقَهُ الإِمُ الحَاكِمُ 12.
Murobathah bertahan berikan seperlunya rampasan kepada imam yang kelak ia akan membagikan ·
وَاعْتِقُ وَكَفِّرُو اَوْفِ بِاالوَعْدِا شْكُرْاَنْ وَحْفَظْلِسَانُكَ ثُمَ فَرَمُكَ تَفْتُمُ 13.
Memerdekakan budak bayar kifarat janji tepati syukur jaga lisan dan farzi beruntung hari nanti
· اَذَالأَمَانَةَ لاَ تُقَاتِلْ مُسْلِمًا وَحْذَرْجَعَامًا ثُمَّا ماَلَكَ تَخْرَمْ 14.
Tunaikan amanat janganlah membunuh orang Islam hindarilah jangan memakan harta benda yang haram
· وَالْزَيُّ مَعْ ظُرْفٍ وَلَهُواقَدْ تِهِى اَنْفِقْ بِمَعْرُوْفٍ وَالاَّتَأثُمُ 15.
Hindari pakaian permainan yang diharamkan berinfak dengan baik agar tak dapat siksaan
· اُتْرُكْ وَمُسِك كُلَّ غِلٍّ وِالْحَسَد حَرَّم لِعِرض الْمُسِلِمِيْنَ فَتُسْلَمُ 16.
Sifat iri dan dengki hidarkanlah ia darimu jaga kehormatan orang Islam selamat dirimu
· اَخْلِصْ لِرَبِّكَ ثُمَّ سُرُّ بِطَاعَةٍ وَاحْزَنْ بِسُوْءٍ تُبْ وَاَنْتَ النَادِمُ 17.
Ikhlaslah kepada tuhan senanglah ketaatan sedih dengan keburukan tobat penu penyesalan
· وَائتِ الضَحِيْةَ وَالعَقِيْقَةَ وَاهْدِيْنَ وَأُولِى اْلاُمُوْرِ اَطِعْهُمْ لاَبَجْرِمْ 18.
Sembelilah Qurban dan Aqiqah lalu hadiahkan taatilah ulil amri jangan buat pelanggaran
· اَمْسِكْ جَبِيْبْ مَاعَلَيْهِ جَمَاعَةُ وَاحْكُمْ بِعَدْلٍ وَانْهُ مَاهُوَ مَأثَمُ 19.
Peganglah jalan jama’ah hukum dengan adil benar cegahlah orang dari melakukan amal yang munkar
· فَأمُرُبِمَعْرُفٍ وَاَنْتَ اَعِلْهُمُ جِدًّا عَلى بِرِّ وَتَقْ تُكَرُمْ 20.
Dan maiuf tolonglah akan sesama manusia dalam kebaikan dan taqwa engkau puji mulia
· وَاسْتِحى رَبُّكَ اَحْسِنَنْ لِلَوالِدِ رَحِمَا فَضْل بِخَقْلِقَكَ تَرُم 21.
Patuh pada tuhan baiklah pada orang tuamu silahturahmi baik budi engkau di sayang tuhan
· اَحْسِنْ لِقِتَاءِ فَاعْفُنْ وَعِلْمَنْ وَاِطَا عَةُ السَّادَتِ عَبْدًا تَلزَمْ 22.
Baik pada budak maafkan berikan pelajaran serta taat pada tuan atas budak diwajibkan
· وَاحْفَضاحُقُوْقَ اْلأَهْلِ وَاْلأَوْلاَء أَنْفِقُ وَعَلِّمُهُمْ فَدَاكُ مُحَتَّمْ 23.
Periharalah segala hak istri dan anak-anak beri pelajaran mereka tunaikanlah wajib infak
· وَاحْبُبُ لأَهْلِ الدِّيْنَ رُدَّسَلاَمُهُمْ عُوْدَنَّ مَرْضَ ضَلَّ مَوْتَ اَسْلَمُو 24.
Cintailah orang seagama dan jawablah salam jenguklah orang sakit solat mayat orang Islam
· سَمِّتْ لِعَاطِسِ مُسْلِمْ الألهَ وَابْعُدْاِخِى مُفْسِدٍ لاَتُظْلَمُ 25.
Do’akanlah orang mu’min yang bersih lalu muji Allah demi keselamatan hal yang merusak hindarilah
· اَكْرِمُ لِجَارٍ ثُمَّ طَيْفِ وَاسْقُرْاَنْ اَوْرَب اَهْلِ الدِّيْنِ تَأمَنَ تَفْنَمُ 26.
Mulyakan tetanggamu hormatilah para tamu tutup cela orang mukmin amal dan beruntung kamu
· وَاصِبْى تَزَهَّدَ وَأتِيَلَنَ بِغَيْرَةٍ اَعْرِضْ عَنِ الْمَلعَاةِ جُدْ تَتَكَتَ مَ 27.
Sabarlah dan berjuhudlah sifat cemburu tanamkan jangan bicara tak guna hidup murah di mulyakan
· وَقِركَبِيْر وَارْ حَمَنَّ صَغِيْرَنَا اَصْلِع لِهَجْر المُسْلِمِيْنَ فَقُكْرَمْ 28.
Hormatilah yang lebih besar sayangilah yang lebih muda damaikan sengketa orang Islam sehingga mereda
· وَحْسُبْ لِناسٍ مَاتُحِبُّ لِنُقْسِكَ حِتَّى تَكُوْنَ بِجَنَّةٍ تَتَنَعَّمُ 29.
Cintailah untuk orang seperti untuk dirimu hingga kelak didalam surga bersenang
· ثُمَّ الصَّلاَةُ عَلَى النَبِيِّ مُحَمَّدٍ وَالأَلِ وَالصَّحْبِ الدِيْنَ يَحْشَم 30.
Semoga salawat kepada nabi Muhammad serta keluarga shabat dan pengikut dengan merata